Selasa, 16 Februari 2016

Menyusuri Sejarah di Negeri Para Sufi

Kuda Troya di Pinggir Pantai Canakkale RESIZE

Mengenang Turki adalah membiarkan diri mengalami peristiwa-peristiwa dalam sejarah. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Hal itu tentu bukan tanpa alasan, sebab Turki adalah sekeping bumi yang masih menyimpan banyak penggalan kisah-kisah epik, mulai dari mitologi Yunani kuno hingga Kekaisaran Ottoman.
Seperti ketika bus yang saya tumpangi tiba di Kota Canakkale. Perhatian saya pun langsung tertuju kepada patung kuda raksasa yang ditempatkan di pinggir pantai Canakkale. Patung Kuda Troya, yang terbuat dari kayu dan berwarna hitam, sebagai hasil imajinasi mitologi masa lalu: sebuah pertempuran hebat antara pasukan Yunani yang berusaha menembus kokoh benteng negeri Troya.
Troyan Horse alias Kuda Troya, ditempatkan dengan anggun di pinggir pantai, menambah indahnya Kota Canakkale. Di sepanjang pantai terlihat kapal-kapal kecil berlabuh, bergerak pelan berirama sesuai alunan riak kecil gelombang laut. Untuk sesaat saya tidak merasakan dinginnya kota saking terkesimanya. Matahari memancar terang, burung mulai beterbangan. Di sana-sini tak ada sampah. Beberapa pedagang asongan suvenir berdatangan mendekat. Bersih sekali kota ini. Pantai yang indah, dan kuda raksasa yang berdiri penuh wibawa punya aura tersendiri.
Menatap patung kuda yang tinggi besar itu, membuat pikiran kita ikut melayang ke masa lalu. Apakah sebuah pertempuran hanya dapat dimenangkan dengan cara-cara yang licik? Di dalam kuda kayu yang besar itu terdapat Achiles dengan beberapa tentara Yunani lainnya, malam-malam menyelinap keluar dan membunuh musuh dalam keadaan tak siap. Lalu, mengapa sang pembuat patung kuda ini kelak disebut pahlawan? Dan di pikiran saya seketika terbayang: orang-orang berbaju zirah menyebar di seluruh kota seperti kawanan semut. Mencari musuh dan bukan musuh, siapa saja yang bisa dibunuh. Saya membayangkan bagaimana para lelaki, perempuan dan anak-anak, tergeletak mengerang kesakitan, bersimbah darah. Terbunuh di saat mereka sedang tidak memegang pedang, hanya memegang gelas, terbunuh di saat mereka sedang mabuk usai merayakan pesta kemenangan yang semu…
Tak berapa lama kami bertolak kembali, meninggalkan Canakkale dan Troyan Horse beserta sejarahnya yang mengenaskan. Menjelang tengah hari, bus kami sampai di Ephesus. Inilah kota yang saya ingin sekali melihatnya. Pemandangan yang tersisa saat ini hanyalah berupa reruntuhan kota, yang sedang dicoba untuk ditata kembali.
Ephesus adalah tempat yang menyenangkan untuk membayangkan dan menghidupkan kembali gambaran kehidupan sebuah kota yang makmur semasa Kekaisaran Romawi. Inilah salah satu museum luar ruang terbesar di Turki. Belum diketahui kapan tepatnya kota Ephesus didirikan, kemungkinan pada jaman perungu Yunani. Ketika agama Kristen menyebar di Kekaisaran Romawi sekitar tahun 50 Masehi, Ephesus menjadi pusat penyebarannya.
Pertama kali dibangun, Ephesus berada di lokasi yang lain. Namun, Kekaisaran Romawi pada waktu itu tidak melihat keuntungan bisnis dari Ephesus lama, sehingga Kaisar menginginkan agar kota dipindahkan ke tempat yang infrastrukturnya gampang dilengkapi, misal di kota-kota pelabuhan. Meskipun Efisian alias penduduk Ephesus tidak mau pindah, Kaisar tetap membangun Kota Ephesus baru, bukan untuk permukiman Kaisar dan keluarga kerajaan lain, tapi semata-mata untuk bisnis. Efisian enggan pindah karena mereka meyakini kota yang sedang mereka tinggali adalah tempat bersemayamnya dewa-dewi, dan mereka takut dewa-dewi akan marah. Namun Sang Kaisar tetap pada kesimpulannya: memindahkan kota. Maka, pembangunan Kota Ephesus yang lebih besar, lengkap dengan pelabuhannya ke berbagai penjuru pun dilanjutkan.
Lalu bagaimana dengan Efisian yang masih betah di kota lama? Penguasa tak kehilangan akal, ke arah kota dibuatlah aliran air. Kita tahu sendiri, ketika air makin besar kota akan makin tenggelam, penyakit menular akan mudah datang ketika banjir dimana-mana. Pilihannya pindah atau tidak?
Dari semua reruntuhan kota yang pernah saya lihat selama di Turki, Ephesus adalah yang paling menarik. Hamparannya sangat luas, dan setiap lokasi diperuntukkan untuk beragam kepentingan: akun-alun, pasar, kuil ibadah, hingga perpustakaan. Bahkan, ada juga rumah bordil.
Kompleks perkotaan Ephesus pun sangat lengkap. Selain pasar, penginapan dan lain-lain, ada juga toilet umum. Bekas-bekas toilet itu masih terpelihara rapi. Kami pun sempat singgah di sebuah reruntuhan bangunan yang konon sering digunakan para pendeta untuk berkomunikasi langsung dengan para Dewa. Bangunan ini tak begitu luas, hanya sekitar 5×4 meter dan dulu di dalamnya terdapat sebuah patung dewi dari marmar yang setiap saat digosok dengan minyak zaitun hingga mengilap.
Selain itu, Ephesus pun memiliki gedung perpustakaan yang menjadi ikon kota itu. Adanya perpustakaan tersebut menandakan kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat yang hidup di zaman itu. Bangunan perpustakaan ini sebenarnya hanya dua lantai, namun dengan desain arsitektur yang sedemikian rupa hingga mengesankan bangunan yang amat tinggi. Inilah kehebatan seni arsitektur di masa lalu.
Puas menikmati Ephesus, saya dan rekan-rekan terus berjalan hingga meninggalkan reruntuhan kota. Di ujung sana, sebuah tarian telah menyambut kami, mengisahkan datangnya Ratu Cleopatra dari Mesir. Tak cukup lama kami melihat, tarian itu sudah usai.
http://padmagz.com/menyusuri-sejarah-di-negeri-para-sufi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar