Kamis, 11 Februari 2016

Semangat Urip, Tetap Bersyukur di Tengah Kelainan

Semangat Urip, Tetap Bersyukur di Tengah Kelainan

Urip hidup sebagai penderita Neurofibromatosis, yang membuat kulitnya dipenuhi kutil. Tetapi, dia tidak pernah berhenti salat dan selalu ingin bisa mengaji.
Pria itu berdiri di pertigaan Jalan Pasirjaya RT 01/04, Jatiuwung, Tangerang. Dia berusaha mengatur arus lalu lintas kendaraan dan mencoba mengurai kemacetan. Beberapa di antara pengguna jalan memberinya recehan, meski tidak semuanya berlaku seperti itu.
Di sela-sela aktivitasnya sebagai 'Pak Ogah', pria itu duduk di sebuah kios tak jauh dari tempatnya beroperasi. Kios itu hanya menjual bahan bakar minyak Premium, lazimnya disebut bensin. Menjadi 'Pak Ogah' dan berjualan bensin adalah aktivitas yang dilakukan pria bernama Urip, 55 tahun, untuk terus menyambung hidup.
Urip bukan sosok yang normal. Sekujur tubuhnya dipenuhi banyak benjolan menyerupai kutil. Dia mengidap Neurofibromatosis, penyakit langka yang menumbuhkan benjolan di sekujur tubuh.
Kondisi itu membuat Urip tidak bisa bekerja laiknya orang normal. Hasilnya menjadi Pak Ogah dan berjualan bensin menjadi biaya hidup sehari-hari. Terkadang, dia kerap mendapat bantuan dari tetangga berupa makanan.
"Saya juga masak sendiri, masak apa saja yang ada di rumah. Yang penting ada nasinya," ujar Urip.
Urip menderita penyakit langka tersebut sejak dia berusia sekitar 18 tahun. Awalnya, benjolan-benjolan tersebut muncul seperti bintik-bintik. Tetapi, benjolan tersebut semakin membesar hingga membuat tubuhnya seperti melepuh.
Benjolan itu telah menutupi 90 persen bagian tubuhnya. Wajahnya pun hampir sulit dikenali. Bahkan tangan, kaki, dan badannya terlihat seperti membengkak.
"Alhamdulillah, saya tak pernah merasa sakit, panas atau yang lainnya. Seperti biasa saja, makan biasa, tidur pun biasa," kata dia.
Kelainan yang ia alami memang kerap membuat banyak orang mengejeknya. Tetapi, Urip memilih bertahan dan mengabaikan cercaan orang lain. Dia pun mengaku tidak pernah sekalipun berhenti untuk mengucap syukur.
"Saya hidup apa adanya yang Allah kasih ke saya. Karena, tak ada yang bisa saya lakukan selain bersyukur, biarlah orang lain berkata apa," ucap dia.
Urip sendiri sebenarnya menyimpan keinginan hidup layaknya orang normal. Meski begitu, harapannya harus pupus lantaran tidak adanya biaya berobat.
Dia berkisah pernah menjalani pengobatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) atas biaya yang didapat dari sumbangan warga sekitar. Lantaran harus menjalani pengobatan rutin dan dianjurkan tinggal di dekat RSCM, Urip merasa keberatan. Dia tidak punya biaya cukup untuk berobat.
Meski dalam kondisi hidup sebagai pengidap kelainan, ditambah serba kekurangan, Urip tidak pernah berhenti salat dan terus menjaga silaturahim dengan tetangga. Dia punya keinginan untuk bisa mengaji, tetapi tidak ada yang mau mengajarinya sejak kecil.
"Jadi kalau salat bacanya yang saya ingat saja, seperti Qulhu," ucap Urip.
Senyum itu kembali tergurat di wajah saat ia mendapat bantuan dari para Muzakki yang terkumpul melalui PPPA Daarul Quran melalui program Senyum Mustahik. Meski sedikit, bantuan tersebut diharapkan dapat meringankan beban Urip untuk memenuhi kebutuhan hidup dan berobat.
Sumber: pppa.or.id
http://www.dream.co.id/orbit/semangat-urip-bertahan-di-tengah-kelainan-160208v.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar